17 April2025 - Jendela Jiwa - "Tantri Subekti"
Budaya Bukan Sekadar Tradisi, Tapi Detak Kehidupan
Budaya adalah rumah bagi jiwa. Ia bukan sekadar peninggalan atau adat yang terjaga di museum. Ia adalah desah napas kehidupan yang masih terdengar di antara langkah-langkah kita hari ini. Ketika kita menyusuri jalanan kota atau lorong-lorong kampung, budaya selalu hadir—kadang nyata, kadang samar, tapi tak pernah absen. Ia hidup dalam cara kita menyapa orang tua, dalam pilihan kata saat bertutur, dalam aroma masakan yang mengepul dari dapur rumah.
Rasa yang Mengakar, Warisan yang Membentuk
Budaya bukan hanya soal tradisi, tapi tentang rasa yang mengakar. Ia tumbuh bersama tanah yang dipijak, bersama angin yang menyentuh wajah, bersama suara yang tak diucapkan tapi dirasakan. Budaya adalah bahasa jiwa yang diwariskan secara diam-diam, lewat kebiasaan, cerita, dan keheningan yang kita pahami sejak kecil.
Ketika kita duduk bersila di lantai rumah nenek, menyantap sayur asam dengan tangan, lalu mendengar kisah tentang masa lalu yang diceritakan perlahan, di situlah budaya menunjukkan dirinya. Ia bukan benda. Ia adalah pengalaman. Ia hidup di antara gerak dan rasa.
Di Tengah Derasnya Modernitas, Budaya Mengajak Kita Diam
Namun, hari ini, budaya sering kali terlupakan. Kita terlalu sibuk berlari, mengejar sinyal, dan menunduk pada layar. Kita lupa menengadah pada langit yang sama yang dulu ditatap para leluhur ketika mereka menggubah syair dan melantunkan doa. Di tengah dunia yang cepat ini, budaya mengajarkan kita untuk berhenti. Untuk mendengar. Untuk mengingat.
Budaya adalah pengingat bahwa kita berasal dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar diri sendiri. Ia menautkan kita pada akar, pada tanah, pada langit yang menyatukan. Tanpa budaya, kita mudah hanyut dalam arus global, kehilangan bentuk dan suara yang sejatinya milik kita sendiri.
Menyentuh Kembali Leluhur Lewat Gamelan, Batik, dan Tembang
Dan justru dalam budaya, kita bisa menemukan kembali diri. Kita bisa menautkan luka pada leluhur yang juga pernah terluka. Kita bisa mencintai dengan cara yang pernah diajarkan lewat tembang dan cerita. Kita bisa menangis dengan cara yang sama seperti nenek moyang kita menangis—bukan dalam sunyi, tapi dalam lagu, dalam gerak, dalam upacara yang memeluk kesedihan.
Ketika kita menyentuh batik, kita sedang menyentuh ingatan tentang ketekunan. Ketika kita mendengar gamelan, kita sedang diajak masuk ke dunia yang penuh harmoni dan sabar. Ketika kita menonton wayang, kita sedang diajar bagaimana memandang hidup dengan kelapangan hati.
Budaya Tak Minta Disembah, Hanya Dihidupkan
Budaya bukan untuk dikenang. Ia untuk dihidupkan. Ia tidak meminta untuk dipuja, cukup untuk dijalani. Dalam setiap langkah kecil—dalam cara kita berpakaian, makan, bicara, mencinta—budaya bisa hadir sebagai iringan lembut. Seperti bayangan yang tak pernah lepas dari tubuh.
Dan karena itulah, mencintai budaya bukan tugas. Ia adalah bentuk pulang. Pulang pada rasa yang dulu pernah kita kenal. Pulang pada suara yang pernah meninabobokan kita di malam gelap. Pulang pada bahasa yang mungkin tak lagi fasih di lidah, tapi masih hangat di dada.
Rumah yang Tak Pernah Hilang
Budaya adalah rumah. Dan mungkin, di tengah dunia yang terus berubah, yang kita butuhkan bukan rumah baru—tapi rasa pulang yang tak pernah hilang.
0 Comments