Oleh: Tantri Subekti
❖ Tahun Transisi yang Rentan
———
Musenda kali ini terasa seperti tahun transisi yang sangat rentan, diliputi oleh berbagai opsi yang mengindikasikan ketidakpercayaan. Kami menyaksikan para seniman yang sekian lama tertidur dalam diam dan karya, tiba-tiba dibangunkan seolah-olah... hanya untuk menyadari bahwa masa kepengurusan sudah hampir berakhir.
❖ Loyalitas yang Tak Dianggap
———
Kami, yang telah membersamai tiga periode kepengurusan dengan ide, tenaga, dan pemikiran, justru terasa seperti tak dianggap. Loyalitas kami seakan tak terdeteksi. Di saat segalanya mendekati akhir, kami dibiarkan bertanya: di manakah penghargaan atas pengabdian yang diam-diam kami berikan?
❖ Kritik Terhadap Dinasti dan Skenario Kepemimpinan
———
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kami adalah satu-satunya pengurus yang vokal menolak kebijakan-kebijakan yang sejak lama dibangun dalam tubuh DKD. Kami menggugat bangunan "kedinastian" yang terasa begitu kental. Proses pemilihan ketua selalu diselimuti skenario dan drama. Padahal, sesuatu yang diawali dengan niat tidak jernih, akan berakhir dengan perpecahan.
❖ Langkah Baik yang Disalahpahami
———
Ketika kami diberi amanah sebagai Ketua II, kami mencoba memberikan warna dan langkah baru bagi wajah DKD. Namun, niat baik itu justru dianggap sebagai upaya mencemarkan nama baik. Tuduhan demi tuduhan dilayangkan. Tekanan demi tekanan datang silih berganti, hingga akhirnya kami memutuskan untuk mundur melalui surat pengunduran diri yang ditulis dengan dukungan penuh dari suami saya.
❖ Skenario Sistemik untuk Menyingkirkan
———
Entah dari mana awal, asal, dan akhir tekanan itu berasal. Namun semua terkesan dirancang demi menyingkirkan kami secara sistematis. Alam pada akhirnya membuktikan satu per satu kekhawatiran yang dahulu kami sampaikan. Kasus-kasus muncul secara alami. Tapi hanya segelintir yang berdiri membela. Kami bahkan sempat "disidang" oleh DKD—entah berdasarkan instruksi siapa.
❖ Kepemimpinan yang Membingungkan
———
Situasi itu memunculkan satu pertanyaan besar: apakah DKD ini dijalankan dengan sistem kepemimpinan yang sehat, atau ada konspirasi yang saling menopang kekuasaan?
Kami tak lagi memahami arah kebijakan ketua, sekretaris, maupun pengurus inti. Seolah-olah ada bola api yang sengaja diarahkan ke kami. Didesain dengan rapi agar kesalahan kami dicari-cari. Segalanya diskenariokan... namun skenario Allah jauh lebih indah.
❖ Pengabdian Dibalas Tuduhan
———
Alam tak tinggal diam. Tuhan tak pernah tidur. Keringat, perjuangan, kenyamanan yang kami relakan, hingga air mata pengabdian—semua dibalas dengan tuduhan, rekayasa, dan pengadilan-pengadilan kecil yang menyakitkan.
❖ Dari Nol Kami Mengabdi
———
Padahal kami mengabdi dari nol. DKD dibangun tanpa dana operasional, tapi kami tetap bersemangat. Bergotong royong, menghias senyum dengan semangat, menantang panas dan hujan demi jalannya kegiatan. Kami totalitas menyumbangkan tenaga untuk dekorasi dan teknis acara dari tahun ke tahun, siang dan malam.
❖ Janji yang Tak Pernah Terealisasi
———
Ketika dana dijanjikan cair, kami percaya—bahwa bensin, makan, bahkan waktu anggota akan diganti. Tapi ketika dana benar-benar turun, selembar pun tak menyentuh keringat kami. Alasannya? Dana tak cukup.
Itulah jawabannya. Atau barangkali... alasan untuk berlindung.

❖ Sumbangsih yang Diabaikan
———
Kami bahkan meminjamkan ruko secara cuma-cuma demi memajukan DKD. Tapi semua itu dilupakan, dianggap biasa saja. Tak dijadikan dasar kebijakan atau pertimbangan. Seolah pengorbanan itu hanyalah angin lalu.
❖ DKD Seharusnya Diisi Orang-Orang Berkualitas
———
DKD seharusnya diisi oleh mereka yang berkualitas. Tapi hari ini, seolah tanpa filter. Siapa pun bisa masuk. Tak ada penyaringan. Tak ada penjagaan marwah.
❖ Saatnya Mengambil Kendali
———
Inilah alasan kami berpikir untuk mengambil kembali kendali terhadap arah kebijakan DKD. Bukan karena ambisi. Tapi demi menjaga martabat lembaga kesenian daerah yang terhormat.
❖ Cermin untuk DKD: Jejak, Kredibilitas, dan Manfaat yang Belum Merata
———
Berkaca pada jendela waktu dan jejak panjang Dewan Kesenian Daerah (DKD), masih terasa kosong manfaat yang dirasakan secara menyeluruh oleh semua sanggar. Belum tampak upaya maksimal yang merangkul pelaku seni agar berperan aktif dalam penciptaan karya, berpacu dalam inovasi, maupun menyelenggarakan pameran seni yang mengangkat nama daerah ke kancah luar—selain dari sekadar partisipasi dalam acara tahunan milik Dinas Kebudayaan.
Belum ada langkah nyata yang mampu mencetak pelaku seni menjadi sosok yang dihargai, disanjung, dan diberi tempat terhormat sebagaimana layaknya insan seni di ruang yang semestinya.
❖ Terhambatnya Lompatan Besar oleh Situasi yang Membelenggu
———
Kami merasa seolah harus tersendat dalam merancang loncatan yang lebih jauh. Padahal, atas izin Tuhan, langkah kami telah meniti jalan panjang yang penuh peluh dan tekad. Jabatan demi jabatan, penghargaan demi penghargaan, telah kami tempuh dan raih—dari tingkat lokal hingga nasional dan internasional.
❖ Mewakili Daerah di Panggung Dunia
———
Insya Allah, bulan Juli mendatang, kami dijadwalkan tampil di Jurusan Sastra Universitas ternama di Korea Selatan. Sebelumnya, kami telah berpartisipasi dalam:
-
Festival Puisi Internasional Bukit Bintan, Batam
-
Agenda seni budaya di Malaysia dan Kamboja
-
Kunjungan dan dialog seni di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
Semua itu adalah rangkaian dedikasi, kerja keras, dan keyakinan untuk membawa nama daerah ke panggung nasional dan internasional—bukan demi pribadi, tapi demi seni, tanah kelahiran, dan marwah budaya kita.
0 Comments