- Tantri Subekti: Menyulam Huruf, Menaklukkan Angin, Menghidupkan Suara - Jendela Jiwa -"Tantri Subekti"

Tantri Subekti: Menyulam Huruf, Menaklukkan Angin, Menghidupkan Suara

17 April2025 - Jendela Jiwa - "Tantri Subekti"

Dalam diam, ia bersuara. Dalam huruf, ia mencipta semesta. Dan dalam puisi, Tantri Subekti menanam keheningan yang mengakar dalam rasa.


Puisi yang Dilafalkan, Bukan Sekadar Dibaca

Di tengah derasnya lalu lintas kata di media sosial, Tantri Subekti hadir seperti bisikan di antara teriakan—lirih, namun menggetarkan. Puisinya tidak sekadar dipublikasikan. Ia dilafalkan. Ia dihidupkan. Dalam video puisinya yang viral di Instagram, “Ku Lafal Huruf A”, Tantri membaca dengan tubuh dan jiwa. Setiap huruf yang ia lafalkan bukan sekadar fonem, tapi gema dari perjalanan batin manusia.

Huruf A, yang tampak sederhana, berubah menjadi lambang mula. Mula rasa, mula tanya, mula cinta. Suaranya seperti mantra yang lembut namun pasti, mengantar kita masuk ke ruang sunyi yang sangat personal—namun terasa akrab.


Angin yang Tak Lagi Asing

Dalam puisi “Menaklukkan Angin di Negeri Oman”, Tantri membawa kita ke negeri asing. Bukan sebagai turis, tapi sebagai peziarah rasa. Di tengah gurun dan angin panas, ia menemukan makna keterasingan, juga perjumpaan dengan diri sendiri. Angin dalam puisinya bukan hanya gejala alam, tapi percakapan rahasia antara jiwa yang mengembara dan dunia yang diam-diam menjawab.

Ia menulis dengan cara seorang pelancong yang tidak mencari eksotisme, tapi keheningan. Yang dibawa pulang bukan oleh-oleh, tapi pemahaman baru tentang manusia, tanah, dan doa.


Ketika Suara Menjadi Alat Rasa

Kekuatan Tantri tak hanya pada tulisannya, tapi juga pada cara ia menyampaikannya. Di kanal YouTube-nya, video seperti “Suara dari Balik Kata” dan “Menggaungkan Rasa lewat Puisi” memperlihatkan bahwa suara bisa menjadi alat rasa. Nada lirih, ritme lambat, ekspresi wajah yang tulus—semua menjadikan puisinya sebagai pengalaman mendengar yang mendalam.

Dalam dunia yang terbiasa dengan kecepatan dan kebisingan, suara Tantri hadir seperti lagu pengantar tidur bagi jiwa yang lelah. Ia tidak berteriak, tapi menyentuh. Ia tidak menjelaskan, tapi membuat kita merasa.


Panggung Digital, Altar Sastra

Tantri tahu betul: panggung sastra hari ini tak hanya ada di pentas deklamasi. Ia ada di Instagram, YouTube, podcast, dan ruang-ruang daring yang dulu tak dikenal puisi. Tapi alih-alih sekadar “ikut tren”, Tantri mengubah medium itu menjadi altar. Tempat sakral di mana puisi masih bisa hening, tapi tetap sampai.

Ia membuktikan bahwa puisi tidak kehilangan kedalaman saat dibaca lewat layar. Sebaliknya, ia bisa menemukan bentuk baru untuk menjangkau lebih banyak hati. Ia membawa puisi ke zaman sekarang tanpa harus meninggalkan ruhnya.


Menulis dari Luka, Berbicara dari Cinta

Apa yang membuat puisi-puisi Tantri begitu hidup? Mungkin karena ia tidak menulis untuk memikat, tapi untuk menyampaikan. Ia tidak mencari pujian, tapi kejujuran. Puisinya lahir dari luka yang diterima, cinta yang pernah mengendap, dan rindu yang tak selalu bisa dijelaskan.

Dan mungkin karena itu pula, puisinya terasa dekat. Seperti obrolan malam dengan sahabat lama. Seperti surat yang tiba tanpa nama pengirim, tapi isinya tahu persis isi hati kita.


Ruang Hening di Tengah Dunia yang Riuh

Di tengah dunia yang terus menggulir layar, puisi Tantri mengajak kita berhenti. Mengambil jeda. Mendengar. Mengingat bahwa setiap huruf yang kita ucapkan bisa jadi adalah awal. Awal dari pemulihan. Awal dari pengakuan. Atau awal dari mencintai dunia—sekali lagi, secara perlahan.

Dan mungkin itu pesan terbesar dari Tantri Subekti: bahwa puisi bukan hanya tentang kata-kata yang indah, tapi tentang keberanian untuk hening di tengah keramaian. Tentang mendengar batin sendiri, saat dunia terlalu bising untuk didengar.


"Ia tidak sekadar menulis puisi. Ia menciptakan ruang batin tempat kita bisa pulang."



0 Comments

🏠 Home